Translate

Monday, March 10, 2014

R.I.P. Mamanya Rani

innalillahi wainailaihi rajiun 
telah berpulang mamahnya rani rachmadia ips 1
minta doanya yahh biar beliau dpt posisi terindah di sisi allah swt...amiin

Pesan yang disampaikan melalui BBM Broadcast ini kuterima pada malam Senin, pukul 21.33 waktu Indonesia bagian barat. Jantungku terasa mau lompat tatkala kubaca pesan broadcast ini. Sungguhkah berita ini benar? Berita ini bukan sekadar lelucon? Aku hanya ingin yakin bahwa pesan ini disebar orang yang memang kurang kerjaan saja.

Tapi rupanya, pesan yang sama kembali kuterima, namun kali ini dari teman yang berbeda. Rasa simpatipun tumbuh dari dalam dada ini.

Aku tidak dapat membayangkan kesedihan yang akan tersirat di raut wajah Rani pada malam Senin itu. Perempuan mana yang tidak hancur hatinya tatkala harus menerima kenyataan bahwa sosok Ibu yang mengandung, melahirkan, membesarkan, bahkan telah menjadi panutannya harus mengakhiri kontrak hidupnya di bumi yang fana ini? Ah, aku tak tega membayangkannya.

Kemudian, kubuka akun Twitter-ku, lalu kutuliskan kalimat-kalimat penyemangat dan penghiburan kepada Rani, walau kutahu, kalimat-kalimat itu tak akan mampu merekatkan hatinya yang telah hancur berkeping-keping, karena hanya sang waktu yang mampu membuat hatinya utuh kembali. Walau demikian, aku berharap agar kalimat-kalimat penghiburan itu menyuntikkan sedikit ketegaran kepada dia, seorang gadis yang akan mengikuti Ujian Nasional pada bulan April 2014 (ya, dia akan mengikuti UN pada beberapa hari setelah Pemilu 2014. Mari kita berdoa agar ia tetap mampu mempersiapkan diri menghadapi "hari besar" itu).

Pada Senin, 10 Maret 2014, wali kelas kami, Ibu Tri, mengizinkan aku dan para murid kelas XII IPS 1 untuk ikut melayat, mendoakan, sekaligus mengantarkan ibunda Rani ke tempat peristirahatan terakhir. Kira-kira jam sembilan pagi, kami berkonvoi menuju rumah Rani, tempat di mana sang ibunda disemayamkan.

Di tengah jalan, aku yang dibonceng Nadia terpisah dari konvoi tersebut, karena Nadia hendak mengisi bensin motor. Bensin motornya sudah hampir habis rupanya. Terpisah dari rombongan membuat kami harus meraba-raba rute perjalanan, karena kami memang tidak tahu di mana Rani tinggal selama ini. Kami bertanya ke sana-sini, menelepon teman-teman yang sudah terlebih dahulu tiba di sana, tetapi kami justru semakin tersesat. Kami hampir menyerah, bahkan aku sempat terpikir untuk pulang saja, daripada kami semakin tersesat. Lalu, aku menelepon teman-teman kembali, kami minta dijemput agar ada yang mengarahkan kami menuju rumah Rani. Pada akhirnya, dua teman kami, Budi dan Fajar, menjemput kami di gerbang depan perumahan tempat Rani tinggal.

Namanya juga kematian tentu identik dengan rasa kehilangan dan isak tangis. Itulah suasana yang terasa di rumah Rani, setelah aku tiba di rumahnya. Aku berniat masuk ke rumahnya, tetapi keraguan melingkupiku. Sungguh, aku tak sanggup bila harus ikut masuk ke rumahnya, karena pikirku, bila di luar rumah saja sudah banyak pelayat yang berurai air mata, bagaimana pula di dalam rumah?

Dalam keraguanku itu, Rani ke luar dari rumah, dan menghampiri aku, Nadia, dan beberapa kawan lain yang berada di luar rumah. Aku menyalami Rani seraya menyatakan rasa dukaku atas apa yang baru saja Rani alami. Rani tersenyum dan berterima kasih.

Gadis SMA itu berbalut busana serba cokelat, tidak seperti pelayat pada umumnya yang berbusana serba hitam. Di antara teman-teman yang ada di depan rumahnya, ia tetap menyunggingkan senyum, bahkan bersenda gurau. Gelak tawa tetap ada, seolah-olah tak terjadi apa-apa padanya, tetapi mata gadis itu tetap berkaca-kaca. Mungkin ia hanya ingin melupakan kepedihan hatinya, walau hanya sejenak.

Maria kemudian mengajakku masuk ke rumah, sementara Nadia menunggu di luar karena datang bulan. Kata teman-teman yang ikut melayat, seorang Muslimah yang sedang datang bulan tidak boleh ikut melihat jenazah. Di dalam rumah Rani begitu banyak pelayat, sehingga kami kesulitan memasuki rumah Rani. Akhirnya, kami hanya bisa melihat jenazah sang bunda yang telah terbungkus kain kafan dari depan pintu rumah yang terbuka.

Dari cerita yang beredar di antara murid-murid XII IPS 1, ibunda Rani mengalami malpraktik. Awalnya, ada benjolan yang besar yang letaknya kalau tidak salah di bagian kanan leher sang ibunda. Setelah dibawa ke rumah sakit (sebut saja RS 1) beliau divonis mengidap kanker, sehingga beliau menjalani kemoterapi selama beberapa bulan, hingga rambut beliau habis. Barangkali karena tak juga ada perubahan, keluarga membawa sang bunda ke rumah sakit lain (sebut saja RS 2) dan dokter dari RS 2 ini justru berkata bahwa benjolan tersebut bukanlah kanker, hanya sekadar benjolan yang akan sembuh dengan hanya diurut. Tetapi benjolan yang salah penanganan itu terlanjur menjadi sangat parah dan membuat dokter mengambil tindakan operasi. Akhirnya, memang operasi itu juga tidak mampu mengobati sang ibunda, malah akhirnya terjadi pendarahan dari benjolan tersebut, sehingga peristiwa itu berujung maut. Sang ibunda menghadap Dia yang memiliki kita sepenuhnya.

Kira-kira jam dua belas siang, jenazah sang ibunda dibawa ke masjid yang berada di belakang rumah Rani. Kerandanya digotong beramai-ramai diiringi lantunan doa dan isak tangis. Aku hanya menunggu di depan masjid, toh aku juga tak bisa ikut shalat jenazah, bukan? Jadi, aku tak tahu pasti apa saja yang terjadi di dalam masjid tatkala mendoakan beliau di sana. Tetapi aku sempat mendengar suara ayah Rani yang memohon agar seluruh jemaah mengampuni berbagai dosa yang dilalukan sang ibunda.

Dari masjid, jenazah segera diantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya, TPU Perwira, Bekasi Utara. Kami membentuk rombongan menuju ke taman pemakaman tersebut. Lampu darurat kami nyalakan, sebagai tanda bahwa kami bagian dari rombongan, jadi, pengguna jalan diharapkan tidak menyalip dan memisahkan rombongan kami ini.

Setibanya di pemakaman, Nadia hanya menunggu di luar area, ia tak boleh mengikuti prosesi pemakaman karena sedang datang bulan. Aku segera memasuki area pemakaman bersama rombongan pelayat. Aku tak begitu paham prosesi pemakaman umat Muslim, jadi aku hanya bisa mengamat prosesi tersebut. Kata temanku, Diah, jenazah itu sebisa mungkin dikubur dengan letaknya menghadap kiblat. Entah, aku tak begitu paham dengan hal ini, yang seperti itu tidak ada dalam ajaran agamaku, jadi, sebenarnya wajar bila aku tak paham.

Para pelayat melantunkan doa. Beberapa di antara mereka memeluk para gadis yang pernah berada dalam rahim jenazah wanita tersebut. Tangisan itu semakin nyaring tatkala jenazah akan ditimbun tanah. Bumi pun nampaknya ikut berduka, hingga air matanya mengalir deras sepanjang hari. Jangan heran bila sepanjang Senin (10 Maret 2014), derasnya hujan membasahi Bekasi.

Proses pemakaman berakhir. Sang bunda telah beristirahat dengan tenang. Tinggallah kami, manusia yang masih hidup ini, harus memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya, karena tak ada yang tahu kapan Tuhan meminta kita kembali kepada Dia.

Aku dan Nadia segera meninggalkan pemakaman. Rupanya, Nadia tidak menguasai rute perjalanan kembali ke Harapan Indah. Yang terjadi, kami malah tersasar entah ke mana-mana. Tanpa sadar, kami justru sudah dekat dengan Summarecon Mall Bekasi. Jauh sekali kami tersasar. 

Ah, seandainya kami membawa banyak uang, kami teruskan saja perjalanan ke mall itu, supaya bisa shopping dan makan-makan. Lalu nanti kami ditilang karena tak bawa helm. Ujung-ujungnya kami tinggal menyogok si polantas, toh praktik kejahatan kerah putih masih tetap berlangsung hingga sekarang. Lupakan. Yang barusan itu anggap saja lelucon di siang bolong.

Akhirnya, sama halnya ketika kami pergi ke rumah Rani, begitulah kami meraba-raba arah kembali ke sekolah. Belok sana, belok sini, kebingungan hendak bertanya pada siapa. Ibarat syair lagu Butiran Debu yang berbunyi, "aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang." Untunglah kami dapat tiba kembali ke sekolah. Kami tiba kira-kira jam setengah tiga, lalu langsung ke kantin untuk mengisi perut yang sudah kosong.

No comments:

Post a Comment

Mau sambil diskusi, silakan ... mau sambil promosi, silakan juga ... yang penting tetap menjaga tatakrama di dunia maya.